Dahulu kala, ada seorang pemuda yang tampan dan gagah. Ia bernama Awang Sukma. Awang Sukma suka mengembara sampai ke tengah hutan belantara. ia takjub melihat aneka kehidupan di dalam hutan. suasananya begitu rukun dan damai.
Ia sangat mengagumi kehidupan di hutan itu, hingga akhirnya ia memutuskan untuk hidup di sana. ia membangun rumah pohon di sebuah dahan yang sangat besar. Setelah lama tinggal di hutan, Awang Sukma diangkat menjadi penguasa daerah itu dan mendapat gelar Datu. Sebulan sekali, Awang Sukma berkeliling daerah kekuasaannya untuk melihat keadaan sekitar.
~
Pada suatu hari, saat Datu Awang Sukma sedang berkeliling, matahari bersinar sangat terik sehungga membuat Datu Awang Sukma kepanasan dan lelah. Ia ingin beristirahat sejenak di tempat yang sejuk dan teduh. Ia pun menuju sebuah telaga yang airnya jernih dan bening. Telaga tersebut dikelilingi pohon-pohon yang rindang dengan buah-buahan yang lebat. Berbagai jenis burung dan serangga hidup dengan riangnya. "Hmm. alangkah sejuknya di sini," gumam Datu Awang Sukma. Datu Awang Sukma pun beristirahat, namun, tiba-tiba ia mendengar suara riuh rendah di telaga. Datu Awang Sukma penasaran dengan suara yang mengusiknya. Ia terbangun dan mencari tahu asal suara itu.
~
Disela-sela tumpukan batu yang bercelah, Datu Awang Sukma mengintip ke arah telaga. Betapa terkejutnya Datu Awang Sukma ketika melihat ada tujuh gadis cantik yang sedang bermain air. "Mungkinkah mereka itu para bidadari?" pikir Datu Awang Sukma.
Tujuh gadis cantik itu tidak sadar jika mereka sedang diperhatikan oleh seseorang. Selendang yang mereka gunakan untuk terbang, bertebaran di sekitar telaga. Salah satu selendang tersebut tergeletak di dekat Datu Awang Sukma. "Wah ini kesempatan yang baik untuk mendapatakan selendang itu," gumam Datu Awang Sukma.
Namun. Datu Awang Sukma menginjak ranting dan dedaunan kering yang menimbulkan suara gemerisik. Akan tetapi, Datu Awang Sukma masih bisa meraih selendang salah satu bidadari itu. Ia lalu bersembunyi di balik pepohonan. Mendengar bunyi suara gemerisik dedaunan, para bidadari terkejut, "Hei, kalian mendengar ada suara dari balik pepohonan?" tanya salah seorang bidadari. "iya, sepertinya ada seseorang," tukas adalah seorang bidadari yang lainnya. "Ayo, segera kita tinggalkan tempat ini!" seru seorang bidadari.
~
Mereka segera mengambil selendangnya masing-masing. Ketika ketujuh bidadari tersebut akan terbang, ternyata ada salah seorang bidadari yang kehilangan selendangnya. Bidadari yang kehilangan selendangnya adalah si Putri Bungsu. "Aduh, di mana selendangku? Bagaimana aku bisa kembali ke kahyangan?" seru Putri Bungsu kebingungan. Ia amat sedih karena kakak-kakaknya satu persatu telah terbang pulang, sementara ia belum juga menemukan selendangnya. Tanpa selendang itu, ia tidak bisa pulang.
~
Seketika itu juga, Datu Awang Sukma segera keluar dari persembunyiannya. "Jangan takut, Tuan Putri, hamba akan menolong asalkan Tuan Putri ikut bersama hamba." bujuk Datu Awang Sukma.
"Siapakah gerangan dirimu?" tanya Putri Bungsu ketakutan melihat seseorang tiba-tiba muncul dari balik pohon.
"Saya Datu Awang Sukma, Tuang Putri." kata Datu Awang Sukma memperkenalkan diri. "Saya adalah penguasa hutan ini."
Putri Bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun, tidak ada jalan lain bagi si Putri Bungsu kecuali menerima pertolongan Datu Awang Sukma.
"Baiklah, Datu Awang Sukma. Aku bersedia ikut denganmu." ucap Putri Bungsu. Mendengar jawaban itu, Datu Awang Sukma sangat gembira. Ia sangat mengagumi kecantikan Putri Bungsu.
~
Akhirnya setelah sekian lama, Datu Awang Sukma meminang Putri Bungsu. Putri Bungsu menerimanya karena selama ini Datu Awang Sukma sangat baik kepadanya.
Kehidupan mereka begitu bahagia dan tenteram. Setahun kemudian, kebahagiaan itu bertambah dengan lahirnya seorang bayi perempuan yang cantik.
"Bagaimana jika bayi ini kuberi nama Kumalasari?" tanya Datu Awang Sukma.
"Nama yang indah. Aku juga setuju!" seru Putri Bungsu karena mendapatkan seorang anak yang cantik.
~
Kehidupan mereka berjalan seperti biasa. Datu Awang Sukma setiap hari bekerja di ladang untuk menghidupi keluarganya. Terkadang, Datu Awang Sukma juga berburu hewab untuk disantap dan mengumpulkan ranting-ranting kering yang dijadikan kayu bakar untuk keperluan hidup sehari-hari. Selain itu, ia juga memelihara ayam untuk diternakan.
Sementara itu, Putri Bungsu mempunyai tugas sehari-hari untuk memasak di dapur serta mengasuh anaknya. Setelah Datu Awang Sukma selesai bekerja di ladang., biasanya santapan makan siang sudah siap terhidang di meja makan. Mereka pun selalu makan bersama. Satu kebiasaan yang dilakukan Putri Bungsu selepas makan bersama adalah memberi makan ayam di sekitar pekarangannya.
Pada suatu hari, ketika Putri Bungsu berada di pekarangan, seekor ayam hitam naik ke atas lumbung dan mengais padi di atas permukaannya hingga tersingkaplah sebuah bumbung bambu. Putri Bungsu mengusir ayam tersebut dan mengambil bumbung bambu itu.
"Kenapa ada bumbung bambu disini? Apa isinya?" pikir Putri Bungsu ingin tahu.
ketika bumbung dibuka, Putri Bunngsu terkejut dan berteriak gembira, "Ini selendangku!" seru Putri Bungsu.
Selendang itu pun didekapnya erat-erat dengan perasaan gembira. Namun demikian, ada juga perasaan kesal dan jengkel yang tertuju kepada suaminya. Rupanya selama ini Datu Awang Sukma menyembunyikan selendang Putri Bungsu di lumbung padinya. Setelah berpikir panjang, akhirnya Putri Bungsu membulatkan tekad untuk kembali ke kahyangan.
"kini saatnya aku harus kembali," katanya dalam hati, Putri Bungsu segera mengenakan selendangnya sambil menggendong bayinya. Ketika mereka berdua akan terbang. Datu Awang Sukma yang baru selesai bekerja di ladang muncul. Ia terpana melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan meminta maaf kepada si Putri Bungsu atas tindakannya yang menyembunyikan selendang Putri Bungsu.
"Dinda, Tunggu!" sahut Datu Awang Sukma.
"Maafkan aku, Dinda. Aku yang mengambil selendangmu waktu itu. Aku menyimpan dan menyembunyikannya agar Dinda tetap di sini. Aku tahu perbuatanku tak terpuji. Kumohon maafkanlah aku dan kembalilah bersamaku," pinta Datu Awang Sukma.
"Aku memaafkanmu, Kanda. Tetapi aku sudah menemukan selendangku. Kini, waktuku telah tiba. Aku harus segera terbang ke duniaku di atas sana untuk berkumpul kembali bersama saudari-saudariku," kata Putri Bungsu lirih.
"Tetapi Dinda, kumohon pikirkanlah lagi keputusanmu itu baik-baik. Apa lagi kita sudah memiliki Kumalasari," kata Datu Awang Sukma yang mendengar hampir putus asa.
"Tidak Kanda. Aku sudah yakin dengan keinginanku," jawab Putri Bungsu.
~
Datu Awang Sukma menyadari bahwa perpisahan dengan Putri Bungsu tidak terelakkan.
"Kanda, mohon jaga baik-baik Kumalasari." Putri Bungsu memberikan Kumalasari kepada Datu Awang Sukma.
Dengan perasaan sedih Datu Awang Sukma berucap "Kanda dan Kumalasari akan merindukanmu, Bagaimana jika nanti anakmu menanyakan ibunya?"
"Jika anak kita merindukan Dinda, ambilah tujuh biji kemiri dan masukkan ke dalam bakul yang diguncangkan, lalu iringilah dengan lantunan seruling. Pasti Dinda akan segera datang menemuinya," ujar Putri Bungsu.
~
Setelah berkata demikian, Putri Bungsu segera mengenakan selendangnya dan terbang ke kahyangan. Dari langit. tampak Putri Bungsu melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan kepada Datu Awang Sukma dan anaknya. Datu Awang Sukma hanya bisa menatap sedih.. Ia merasakan perpisahan itu teramat berat. Ia pun berjanji untuk melarang anak serta keturunannya memelihara ayam hitam. Ia mengaggap ayah hitam telah membawa kesedihan baginya.
"Jika kita menginginkan sesuatu sebaiknya dengan cara yang baik. Kita tidak boleh mencuri atau mengambil barang milik orang lain karena suatu saat kita akan mendapatkan hukumannya."
sumber: Cerita Rakyat Nusantara Jilid 5 - Erlangga for Kids - Jakarta, Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar